Jakarta - Survei yang menyebut 48,9 persen pelajar Jabodetabek setuju aksi radikal atas nama agama memang mengejutkan. Banyak kalangan yang tidak mempercayai kevalidan survei tersebut.
Sejumlah kalangan pun mempertanyakan survei yang digelar Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) itu. Menteri Agama Suryadharma Ali mempertanyakan metode survei LaKIP. "Bagaimana penelitiannya, bagaimana metodologi penelitiannya?" kata Suryadharma.
SDA, panggilan akrab Suryadharma, juga mempertanyakan data sekolah yang diteliti. Bila mengetahui data sekolah itu, Kementerian Agama akan lebih mudah meneliti materi pelajaran agama dan guru agama di sekolah-sekolah itu
Baca selengkapnya.
"Yang diteliti di sekolah mana saja dengan demikian akan dapat dengan mudah diketahui guru agama yang mana mengajarkan kekerasan, pemahaman yang keras pemahaman yang radikal," tegas SDA. Meski begitu SDA menyatakan akan mengundang peneliti LaKIP untuk mengetahui secara jelas soal survei yang menghebohkan itu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat juga menyatakan perlu kehati-hatian untuk untuk memberikan kesimpulan tentang hasil suvei tersebut. Bahrul juga mempertanyakan dasar metodologis yang digunakan oleh LaKIP. Sayangnya, Bahrul pun belum membaca tentang hasil Survei tersebut. "Saya belum bisa memberikan kesimpulan tentang survei tersebut," kata Bahrul.
Semestinya para siswa tidak terjangkiti radikalisme karena sekolah telah diwajibkan untuk memberikan pelajaran agama dan kewarganegaraan.Dalam pelajaran agama, setiap murid akan diajarkan bagaimana cara menjalankan agamanya. Murid diharapkan mendapatkan pedoman yang menjadi dasar psikis dan peribadatanya.
Selain itu juga diajarkan aspek sosial yang tertanam dalam pelajaran agama untuk memberikan pengertian dan menghindarkan dari tindakan yang mengarah ke arah yang radikal. "Makanya ada pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan tentang pluralisme agama," jelas Bahrul.
Berdasarkan data LaKIP, 48,9 persen pelajar menyatakan bersedia melakukan aksi kekerasan atas nama agama dan moral. Sementara para guru saat ditanyakan soal hal yang sama, jawabnya 28,2 persen setuju radikalisme.
Bahrul yakin radikalisme bukan merupakan hasil pendidikan di sekolah. Lingkungan di luar sekolahlah, menurut Bahrul yang menjadi pemicu timbulnya sifat radikal dari dalam diri anak murid.
"Seseorang bisa menjadi radikal dari pergaulan tapi tidak dihasilkan dari dalam institusi sekolah," tegas Bahrul.
Sosiolog Imam Prasodjo juga tidak mempercayai hasil survei LaKIP. Ia mempertanyakan dasar metedologi yang digunakan sehingga menghasilkan data yang begitu mengejutkan.
Pengamat pendidikan Arief Rahman Hakim juga tidak yakin dengan hasil penelitian LaKIP. Berdasarkan pengalaman sehari-hari yang didapatkannya, hasil survei tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh dirinya sendiri selaku tenaga pengajar. "Pengalaman saya berbeda dengan hasil survei tersebut," tegas Arief.
Banyak faktor pemicu anak menjadi radikal. Seorang anak bisa menjadi keras, karena pendidikan yang diterima di rumahnya juga keras. Anak yang didik keras, akan tumbuh menjadi keras setelah dewasa. Selain juga faktor di sekolah yang termarjinalkan dan sering mendapatkan ejekan. Televisi, yang sering menayangkan acara yang menampilkan tindakan sadisme juga disebut mempunyai andil dalam membentuk perilaku anak.
"Anak harus dibesarkan dengan kasih sayang, dan menyalurkan hobi-hobi yang ada pada dirinya," imbau Arief
Sumber: detkNews, 28 April 2011
Sejumlah kalangan pun mempertanyakan survei yang digelar Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) itu. Menteri Agama Suryadharma Ali mempertanyakan metode survei LaKIP. "Bagaimana penelitiannya, bagaimana metodologi penelitiannya?" kata Suryadharma.
SDA, panggilan akrab Suryadharma, juga mempertanyakan data sekolah yang diteliti. Bila mengetahui data sekolah itu, Kementerian Agama akan lebih mudah meneliti materi pelajaran agama dan guru agama di sekolah-sekolah itu
Baca selengkapnya.
"Yang diteliti di sekolah mana saja dengan demikian akan dapat dengan mudah diketahui guru agama yang mana mengajarkan kekerasan, pemahaman yang keras pemahaman yang radikal," tegas SDA. Meski begitu SDA menyatakan akan mengundang peneliti LaKIP untuk mengetahui secara jelas soal survei yang menghebohkan itu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat juga menyatakan perlu kehati-hatian untuk untuk memberikan kesimpulan tentang hasil suvei tersebut. Bahrul juga mempertanyakan dasar metodologis yang digunakan oleh LaKIP. Sayangnya, Bahrul pun belum membaca tentang hasil Survei tersebut. "Saya belum bisa memberikan kesimpulan tentang survei tersebut," kata Bahrul.
Semestinya para siswa tidak terjangkiti radikalisme karena sekolah telah diwajibkan untuk memberikan pelajaran agama dan kewarganegaraan.Dalam pelajaran agama, setiap murid akan diajarkan bagaimana cara menjalankan agamanya. Murid diharapkan mendapatkan pedoman yang menjadi dasar psikis dan peribadatanya.
Selain itu juga diajarkan aspek sosial yang tertanam dalam pelajaran agama untuk memberikan pengertian dan menghindarkan dari tindakan yang mengarah ke arah yang radikal. "Makanya ada pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan tentang pluralisme agama," jelas Bahrul.
Berdasarkan data LaKIP, 48,9 persen pelajar menyatakan bersedia melakukan aksi kekerasan atas nama agama dan moral. Sementara para guru saat ditanyakan soal hal yang sama, jawabnya 28,2 persen setuju radikalisme.
Bahrul yakin radikalisme bukan merupakan hasil pendidikan di sekolah. Lingkungan di luar sekolahlah, menurut Bahrul yang menjadi pemicu timbulnya sifat radikal dari dalam diri anak murid.
"Seseorang bisa menjadi radikal dari pergaulan tapi tidak dihasilkan dari dalam institusi sekolah," tegas Bahrul.
Sosiolog Imam Prasodjo juga tidak mempercayai hasil survei LaKIP. Ia mempertanyakan dasar metedologi yang digunakan sehingga menghasilkan data yang begitu mengejutkan.
Pengamat pendidikan Arief Rahman Hakim juga tidak yakin dengan hasil penelitian LaKIP. Berdasarkan pengalaman sehari-hari yang didapatkannya, hasil survei tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh dirinya sendiri selaku tenaga pengajar. "Pengalaman saya berbeda dengan hasil survei tersebut," tegas Arief.
Banyak faktor pemicu anak menjadi radikal. Seorang anak bisa menjadi keras, karena pendidikan yang diterima di rumahnya juga keras. Anak yang didik keras, akan tumbuh menjadi keras setelah dewasa. Selain juga faktor di sekolah yang termarjinalkan dan sering mendapatkan ejekan. Televisi, yang sering menayangkan acara yang menampilkan tindakan sadisme juga disebut mempunyai andil dalam membentuk perilaku anak.
"Anak harus dibesarkan dengan kasih sayang, dan menyalurkan hobi-hobi yang ada pada dirinya," imbau Arief
Sumber: detkNews, 28 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar