Pages

MARHABAN

Rabu, Januari 30, 2008

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM STANDAR NASIONAL

Penulis: Dr. Hasbi Indra, MA

Menjadi guru adalah pilihan yang terbaik dalam posisi sosial seseorang. Guru memang pahlawan tanpa jasa; guru digugu dan ditiru. Posisi guru di masa reformasi ini telah diberikan perhatian yang cukup lumayan, karena aspirasi guru secara tertulis diakomodasi dalam UU Guru dan Dosen No. 14.
Secara tertulis untuk bentuk perhatian terhadap guru terutama dalam kaitan kesejahteraan guru telah ada, namun realisasinya memerlukan waktu dan membaiknya ekonomi nasional. Kelak menjadi guru adalah pilihan utama dari profesi lainnya.

Kalau saja bangsa ini sejak awal kemerdekaan menjadikan pendidikan sebagai “panglima” dalam pembangunan atau dalam kalimat yang lunak menjadikannya sebagai prioritas selain bidang politik, ekonomi, maka nasib bangsa hari ini akan berkata lain. Diharapkan ke depan tidak lagi mengalami setback, keberpihakan kepada guru bukan hanya basa basi (lipservice), tetapi karena belajar dari kesalahan prioritas pembangunan selama beberapa dekade yang lalu.

Dari sejak dulu, di masa Yunani kuno sang filosof seperti Plato dikatakan Guru Utama. Para penguasa sejak masa itu mengundang dan menghadirkan guru di istananya untuk mencerdaskan sang Raja dan keluarga istana. Karena dengan cerdasnya Raja dan keluarga istana langkah mereka berikutnya akan mencerdaskan rakyat. Tidak ada bangsa yang maju terlepas dari peran guru yang mengantarkannya.

Akan tetapi seringkali sang penguasa yang telah dicerdaskan oleh guru melupakan nasib para gurunya. Bapak-bapak bangsa yang mampu berbicara dan menjadi tokoh nasional dan merumuskan konsep berbangsa setelah merdeka segera melupakan nasib gurunya. Belajar dari kegagalan bangsa dan terpuruk menjadi bangsa yang disepelekan sekarang ini, diharapkan pemimpin bangsa jangan lagi melupakan guru-gurunya. Sang murid telah menjadi para penguasa, dan pengusaha yang hidup dalam kemewahan yang luar biasa. Pikirkan sang guru yang membentuknya dirinya menjadi orang yang berhasil. Bila ada kata durhaka di sini, maka kita sebenarnya telah durhaka kepada sang guru selama ini.

Namun, terlepas dari adanya bentuk perhatian atau tidak, posisi guru sangat agung di mata Sang Khalik. Sebagai orang beragama, termasuk juga yang ditugaskan dalam bidang PAI, peluang kemuliaan di dalam pandangan Allah SWT., tetap terjamin. Dalam konsep Islam jalan menuju ke pahala atau surga bukan hanya dalam perilaku ibadah shalat, puasa, haji dan zakat. Dalam konsep Islam, begitu luas untuk merengkuh pahala atau keridaan Tuhan. Di tengah kebanyakan umat Islam yang secara tidak sadar, tidak lagi memandang perilaku sosial lain tidak dalam kerangka ibadah, maka profesi guru merupakan ladang ibadah yang sangat berharga untuk dibiarkan. Malaikat, senantiasa mencatat niat, yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk memikirkan dan melaksanakan cita-cita pendidikan menjadi amal untuk sepanjang masa. Inilah ladang yang disebut JIHAD yang sesungguhnya; jihad Akbar yang dikategorikan Nabi setelah beliau memenangkan perang, jihad melawan hawa nafsu. Coba kita bayangkan sepanjang masa pengabdiannya, guru telah berhasil melawan hawa nafsunya dalam bentuk menjaga perilaku yang baik sehingga menjadi contoh anak didik. Jihad melawan nafsu kemalasan untuk memberikan ilmu yang terbaik kepada anak didik dan jihad dalam kehidupan yang sederhana di tengah kehidupan bangsa yang serba materialistik.

Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), guru berada di garda terdepan. Guru diberi tugas untuk mengembangkan Standar Isi kurikulum. Pengalaman yang selama ini bergulat dengan anak didik menjadi modal utamanya dalam mengimplementasikan semangat Standar Isi ini. Di tengah persyaratan formal sebagai standar minimal seperti stratifikasi guru dalam bentuk sebuah ijazah sesuatu yang perlu dipenuhi. Tetapi, selembar ijazah belum cukup menjamin keberhasilan dalam membawa misi Standar Isi PAI. Sikap keingintahuan terhadap segala hal, melakukan langkah-langkah yang kreatif serta tidak kenal menyerah dan putus asa menghadapi kendala di lapangan sangat diperlukan. Guru harus berusaha menjadi guru ideal, di samping menjadi contoh moralitas yang baik, diharapkan ia memiliki wawasan keilmuan yang luas sehinga materi PAI dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang lain. Memahami psikologi anak didik sangat diperlukan pula. Belajar PAI di sekolah bagi anak didik bukan saja belajar tentang yang boleh dan tidak boleh, tetapi mereka belajar adanya pilihan nilai yang sesuai dengan perkembangan anak didik. Guru dalam mentransfer nilai tidak hanya diberikan dalam bentuk ceramah, tetapi juga terkadang dalam bentuk membaca puisi, bernyanyi, mendongeng dan bentuk lainnya, sehingga suasana belajar tidak monoton dan terasa menyenangkan. Guru, tidak cukup menyampaikan istilah-istilah Arab kepada anak didik, atau memiliki kemampuan bahasa Arab, tetapi juga diperlukan kemampuannya dalam bahasa Inggris, sehingga kesan guru sebagai kaum yang dimarginalisasi dan hanya bisa menyampaikan ini halal dan ini haram berkurang. Kemudian Guru PAI diharapkan mengikuti perkembangan metode pembelajaran mutakhir untuk menggunakan media teknologi informasi dalam pembelajarannya. Melalui alat teknologi ini, pembelajaran yang efisien dapat dicapai. Dengan demikian, Standar Isi yang komprehensif dan implementatif belumlah cukup, tetapi juga memerlukan guru-guru yang memiliki kriteria-kriteria di atas.

*(Kasubdit Kurikulum dan Evaluasi Dit.PAIS, Depag RI)

Kaliurang, Maret 2007

0 komentar: