Pages

MARHABAN

Kamis, Januari 29, 2009

FOTO-FOTO LOMBA AKSI IV MGMP PAI KAB.BEKASI














Sabtu, Januari 24, 2009

NASKAH AKADEMIK UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN)MATA PELAJARAN PENDIDKAN AGAMA ISLAM

1. Latar belakang

Pendidikan agama islam adalah pendidikan yang kompleks kerena menyentuh keseluruhan pendidikan. Pendidikan agama tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada peserta didik tetapi juga harus membimbing mereka untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai syariat islam. Oleh karena itu, konsep pendidikan agama yang sesuai dengan kecendrungan-kecendrungan tersebut adalah system pendidikan yang holistic, komprehensif dan integral. Sudah saatnya untuk mengubah paradigma pendidikan agama yang diajarkan kepada peserta didik, yaitu mengedepankan nilai-nilai akhlaqul karimah sebagai perilaku dasar yang dimiliki oleh peserta didik. Peserta didik bukan hanya dituntut untuk mengetahui dan menghafal, akan tetapi juga mampu mengimplementasikannya dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari (mukhtar, 2003)
Pendidikan agama islam disekolah seharusnya memberikan warna bagi lulusan pendidikan, khususnya dalam merespon segala tuntutan perubahan yang ada di Indonesia. Hingga kini pendidikan agama islam dipandang sebagai acuan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi dalam kenyataannya dipandang hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian, terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Akibatnya, peranan serta efektifitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakatpun akan lebih baik.
Kenyataannya, seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah perbaikan kondisi masyarakat. Setelah ditelusuri, pendidikan agama menghadapi beberapa kendala, antara lain; waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan meteri yang begitu padat dan memang begitu penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh sengan tuntutan terhadap mata pelajaran lain.
Disamping itu juga kelemahan lain behwa materi pendidikan agama, termasuk bahan ajar akhlaq lebih terfocus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Ditambah lagi kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih bervariatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan serta rendahnya peran serta orang tua siswa. Masalah inilah yang kemudian melahirkan berbagai tuntutan dilakukan perbaikan dan perhatian serius dan dapat memahami dan mempaktekannya dalam kehidupannya. Selain itu, juga perlu dilakukan kebijakan yang bisa ‘memaksa’ seluruh komponen pendidikan terlibat secara serius dalam pelaksanaan pengajaran pendidikan agama islam. Tidak dilaksanakan hanya sekedar untuk memenuhi gugur kewajiban atas undang-undang dasar. Hal ini dilakukan agar amanat untuk melahirkan menusia yang beriman dan bertaqwa serta akhlaq mulia itu dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah, menjadikan mata pelajaran pendidikan agama islam sebagai mata pelajaran yang diujikan dengan standar nasional dengan sebutan ujian sekolah berstandar nasional pendidikan agama islam (USBN PAI) pada akhir setiap jenjang sekolah dasar (sd), sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuran (SMA/SMK) merupakan langkah strategis dalam mewujudkan kehidupan masyrakat yang religius dan bermartabat.


b. Landasan filosofis
Ada tiga masalah utama yang melatarbelakangi perlunya mata pelajaran pendidikan agama islam (PAI) diujikan dengan standar nasional. Pertama, kesenjangan perundang-undangan dengan praktek atau pelaksanaan PAI disekolah; kedua isu –isu internasional pendidikan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan PAI; dan ketiga, isu-isu nasional pendidikan yang tentunya juga berpengaruh terhadap pelaksanaan PAI.
Ketiga masalah dimaksud dapat dijelaskan secara terinci sebagai berikut :
1. Kesenjangan perundang-undangan dengan praktek PAI.
Persekolahan diindonesia, seharusnya kaya dengan agama. Dalam undang-undang no.20/2003 tentang system pendidikan nasional bab II pasal 3 disebutkan : pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlaq muli, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab(dimensi kebangsaan)
Tetapi dalam pelaksaannya belum sebaik dengan apa yang tertuang didalam perundang-undangan itu. Aspek religi dan nilai-nilai masih terpinggirkan. Unsure pendidikannya masih terlepas dari unsure pengajaran. Tapi dengan melihat jumlah jam mata pelajaran pendidikan agama islam dibanding dengan jumlah mata pelajaran lainnya terjadi kesenjangan yang cukup lebar. Jumlah jam mata pelajaran PAI hanyalah 2 jam (sekarang direncanakan menjadi 3jam) dari total jam pelajaran disd, smp, dan sma/smk. Tilaar (1999) menyebut pendidikan agama dalam kurikulum nasional kita hanya sebagai penggembira saja, sekedar tidak dikritik penndidikan sekuler dikalangan ulama.
Pratek pendidikan diindonesia sebenarnya tidak jauh berbeda di barat dimana manusia mengejar ilmu pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value Free). Prif. Jujun.s suriasumatri (1993) mengatakan bahwa tadinya ilmu pengetahuan hanya mempelajari alam apa adanya tanpa ada keterkaitan dengan nilai moral dan nilai-nilai luhur. Keberhasilan pendidikan seseorang hanya dilihat dari pencapaian akademis semata.
Prof.ahmad sanusi mengatakan bahwa pendidikan dewasa ini sedang berlangsung sangat dipengaruhi oleh logika positivme; yaitu logika yang hanya berorientsi pada keadaan dunia here and now, yaitu logika yang hanya berorientasi pada keadaan dunia here and now, yaitu ‘dunia yang ada sekarang’ yang dapat di’indera’ manusia. Pandangan ini mengakibatkan manusia menjadi sekuler dan hanya memikirkan masalah-masalah yang mempunyai keterkaitan dengan “nilai” luhur. Inilah awal dari”didewakannya kemampuan nalar atau IQ.
Prof.Numan Somantri, menyebutkan keadaan dimana manusia menjauhkan diri dari agama, adalah sebagai hasil dari pengaruh budaya Hellenisme, dimana akal mengalahkan agama (intellectus quaerrens fidem). Dikatakannya bahwa budaya hellenisme adalah budaya yang mendorong berkembangnya rasionalitas, individualitas, serta melepaskan diri dari agama dan teologi (sumantri, 2001:4). Padahal johar dan marshall (2000) menyatakan bahwa diskusi tentang intelegensia manusia tidak lengkap tanpa menyetakan apa mereka sebut spiritual intelligence SQ. dengan sq kita dapat menjawab masalah-masalah tentang makna dan nilai, dengan intelegensia ketiga ini kita dapat menempatkan tindak-tanduk dan hidup kita dalam konteks pemaknaan yang jauh lebih luas dan lebih kaya, dengan intelegensia ini pula kita bias menilai apakah suatu kejadian atau pengalaman hidup itu lebih berharga atau tidak dari lainnya. Sq adalah pondasi yang diperlukan bagi keefektifan kedua fungsi iq dan eq.
Jika mengacu keundang-undang system pendidikan nasional, pendidikan nasional kita seharusnya sarat dengan pembelajaran yang berdimensi religius dan moralitas. Untuk itu perlu dicari solusi bagaimanakah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan, jangan sampai praktek pendidikan itu menghianati amanat perundang-undangan.
Memang, cukup berat tugas dan tantangan pendidikan agama dan guru agama diindonesia. Islam diyakini sebagai sebuah agama yang memiliki ajaran lengkap ndan sempurna. Tetapi pendidikan formal kita tidak mungkin mampu menjelaskan kelengkapan dan kesempurnaan agama islam kerana jam pendidikan agama dalam kurikulum nasional sangat terbatas (SD, SMP, SMA/SMK hanya 2-3 jam perminggu). Bandingkan dengan di negeri berpenduduk muslin lainnya. Di Pakistan pendidikan agama dalam kurikulum SD-SMP mencapai 8 (delapan) jam perminggu dan di SMA ada 6 enam jam, ditambah lagi ilmu-ilmu sosial banyak digali dari ajaran agama dan pelajaran bahasa digunakan juga sebagai media pengajaran agama. Agama dalam kurikulum kita memang lebih sebagai pelengkap penderita.
Sekarang banyak sekolah (baca: sekolah-sekolah negeri, kerena sekolah islam sejak awal berdirinya telah memperkaya PAI) yang memperkaya PAI dan mengadakan gerakan budaya beragama (rekigious culture) disekolah. Ada beberapa sekolah, malah beberapa daerah otonom, yang secara berani menambah jumlah jam PAI menjadi 2 menjadi 4-6 jam perminggunya. Namun yang paling banyak adalah memperkaya PAI dengan cara memperbanyak eskul keagamaan, selain yang secara konvensional dan sudah mentradisi adalah dengan memperingati hari-hari besar islam dengan berbagai kegiatan keagamaan.
Tentu saja kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu disatu sisi cukup menggembirakan, kerena label sekolah sekuler dapat terhapuskan. Sivitas sekolah, khususnya para siswa, yang mencari dan bergairah belajar agama pun dapat terpuaskan. Tapi disisi lain, kegiatan-kegiatan ekstra demikian biasanya hanya diikuti oleh para siswa yang memang memiliki gairah beragama, tidak menyentuh mereka yang tidak memiliki gairah beragama. Berbeda dengan kegiatan semacam mata pelajaran PAI yang dapat melibatkan seluruh siswa; padahal kondisi umum keberagaman siswa kita biasa-biasa saja, tidak begitu banyak yang memiliki gairah beragama.

MAKALAH DISAJIKAN PADA SEMINAR REORIENTASI DAN REORGANISASI PAI
27 Des 2008
diambil dari NESSINDONESIA.COM

AKSI IV MGMP PAI KAB BEKASI

LOMBA
APRESIASI DAN KREASI SENI ISLAMI ( AKSI ) IV
MGMP PAI KAB BEKASI insya Allah akan dilasanakan :

HARI / TANGGAL : RABU, 1 SHAFFAR 1430 H/ 28 JANUARI 2009
TEMPAT : SMP NEGERI 1 SETU KAB BEKASI.
ACARA TERSEBUT MEMPEREBUTKAN PIALA BERGILIR
1. BUPATI BEKASI
2. KA. DINAS PENDIDIKAN KAB BEKASI
3. KA. KANDEPAG KAB BEKASI
DAN INSYA ALLAH AKAN DIBUKA LANGSUNG OLEH BUPATI BEKASI


TECHNICAL MEETING : SABTU, 24 JANUARI 2009
JAM . 09.00 S.D SELESAI

KETERANGAN LEBIH LANJUT HUB. PANITIA
ASEP SAEFULLAH : 08561169780
SAUT, S.Ag : 081316663436
TUTI ALAWIYAH,S.Ag : 08151645627
HJ.SOPIAH : 081310111596
EFFENDI TRI N : 02194759040
NURSID MUNADI : 081316664799

Kamis, Januari 22, 2009

BANGKITLAH WAHAI KAWAN...



MARS KEPANDUAN
By. Shoutul Harokah

Bangkitlah mujahid bangkitlah
Rapatkan barisan rapatkan
Ayunkanlah langkah perjuangan
Mati syahid atau hidup mulia

Siapkan dirimu siapkan
Gentarkan musuhmu gentarkan
Takkan pernah usai pertarungan
Hingga ajal kan menjelang

Enyahkan rasa takut dan gentar
Walau raga kan meregang nyawa
Karna Allah tlah janjikan surga

Senin, Januari 19, 2009

NASKAH AKADEMIK UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN)MATA PELAJARAN PENDIDKAN AGAMA ISLAM

NASKAH AKADEMIK UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN)MATA PELAJARAN PENDIDKAN AGAMA ISLAM
1. Latar belakang

Pendidikan agama islam adalah pendidikan yang kompleks kerena menyentuh keseluruhan pendidikan. Pendidikan agama tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada peserta didik tetapi juga harus membimbing mereka untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai syariat islam. Oleh karena itu, konsep pendidikan agama yang sesuai dengan kecendrungan-kecendrungan tersebut adalah system pendidikan yang holistic, komprehensif dan integral. Sudah saatnya untuk mengubah paradigma pendidikan agama yang diajarkan kepada peserta didik, yaitu mengedepankan nilai-nilai akhlaqul karimah sebagai perilaku dasar yang dimiliki oleh peserta didik. Peserta didik bukan hanya dituntut untuk mengetahui dan menghafal, akan tetapi juga mampu mengimplementasikannya dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari (mukhtar, 2003)
Pendidikan agama islam disekolah seharusnya memberikan warna bagi lulusan pendidikan, khususnya dalam merespon segala tuntutan perubahan yang ada di Indonesia. Hingga kini pendidikan agama islam dipandang sebagai acuan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi dalam kenyataannya dipandang hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian, terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Akibatnya, peranan serta efektifitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakatpun akan lebih baik.
Kenyataannya, seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah perbaikan kondisi masyarakat. Setelah ditelusuri, pendidikan agama menghadapi beberapa kendala, antara lain; waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan meteri yang begitu padat dan memang begitu penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh sengan tuntutan terhadap mata pelajaran lain.
Disamping itu juga kelemahan lain behwa materi pendidikan agama, termasuk bahan ajar akhlaq lebih terfocus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Ditambah lagi kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih bervariatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan serta rendahnya peran serta orang tua siswa. Masalah inilah yang kemudian melahirkan berbagai tuntutan dilakukan perbaikan dan perhatian serius dan dapat memahami dan mempaktekannya dalam kehidupannya. Selain itu, juga perlu dilakukan kebijakan yang bisa ‘memaksa’ seluruh komponen pendidikan terlibat secara serius dalam pelaksanaan pengajaran pendidikan agama islam. Tidak dilaksanakan hanya sekedar untuk memenuhi gugur kewajiban atas undang-undang dasar. Hal ini dilakukan agar amanat untuk melahirkan menusia yang beriman dan bertaqwa serta akhlaq mulia itu dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah, menjadikan mata pelajaran pendidikan agama islam sebagai mata pelajaran yang diujikan dengan standar nasional dengan sebutan ujian sekolah berstandar nasional pendidikan agama islam (USBN PAI) pada akhir setiap jenjang sekolah dasar (sd), sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuran (SMA/SMK) merupakan langkah strategis dalam mewujudkan kehidupan masyrakat yang religius dan bermartabat.


b. Landasan filosofis
Ada tiga masalah utama yang melatarbelakangi perlunya mata pelajaran pendidikan agama islam (PAI) diujikan dengan standar nasional. Pertama, kesenjangan perundang-undangan dengan praktek atau pelaksanaan PAI disekolah; kedua isu –isu internasional pendidikan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan PAI; dan ketiga, isu-isu nasional pendidikan yang tentunya juga berpengaruh terhadap pelaksanaan PAI.
Ketiga masalah dimaksud dapat dijelaskan secara terinci sebagai berikut :
1. Kesenjangan perundang-undangan dengan praktek PAI.
Persekolahan diindonesia, seharusnya kaya dengan agama. Dalam undang-undang no.20/2003 tentang system pendidikan nasional bab II pasal 3 disebutkan : pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlaq muli, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab(dimensi kebangsaan)
Tetapi dalam pelaksaannya belum sebaik dengan apa yang tertuang didalam perundang-undangan itu. Aspek religi dan nilai-nilai masih terpinggirkan. Unsure pendidikannya masih terlepas dari unsure pengajaran. Tapi dengan melihat jumlah jam mata pelajaran pendidikan agama islam dibanding dengan jumlah mata pelajaran lainnya terjadi kesenjangan yang cukup lebar. Jumlah jam mata pelajaran PAI hanyalah 2 jam (sekarang direncanakan menjadi 3jam) dari total jam pelajaran disd, smp, dan sma/smk. Tilaar (1999) menyebut pendidikan agama dalam kurikulum nasional kita hanya sebagai penggembira saja, sekedar tidak dikritik penndidikan sekuler dikalangan ulama.
Pratek pendidikan diindonesia sebenarnya tidak jauh berbeda di barat dimana manusia mengejar ilmu pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value Free). Prif. Jujun.s suriasumatri (1993) mengatakan bahwa tadinya ilmu pengetahuan hanya mempelajari alam apa adanya tanpa ada keterkaitan dengan nilai moral dan nilai-nilai luhur. Keberhasilan pendidikan seseorang hanya dilihat dari pencapaian akademis semata.
Prof.ahmad sanusi mengatakan bahwa pendidikan dewasa ini sedang berlangsung sangat dipengaruhi oleh logika positivme; yaitu logika yang hanya berorientsi pada keadaan dunia here and now, yaitu logika yang hanya berorientasi pada keadaan dunia here and now, yaitu ‘dunia yang ada sekarang’ yang dapat di’indera’ manusia. Pandangan ini mengakibatkan manusia menjadi sekuler dan hanya memikirkan masalah-masalah yang mempunyai keterkaitan dengan “nilai” luhur. Inilah awal dari”didewakannya kemampuan nalar atau IQ.
Prof.Numan Somantri, menyebutkan keadaan dimana manusia menjauhkan diri dari agama, adalah sebagai hasil dari pengaruh budaya Hellenisme, dimana akal mengalahkan agama (intellectus quaerrens fidem). Dikatakannya bahwa budaya hellenisme adalah budaya yang mendorong berkembangnya rasionalitas, individualitas, serta melepaskan diri dari agama dan teologi (sumantri, 2001:4). Padahal johar dan marshall (2000) menyatakan bahwa diskusi tentang intelegensia manusia tidak lengkap tanpa menyetakan apa mereka sebut spiritual intelligence SQ. dengan sq kita dapat menjawab masalah-masalah tentang makna dan nilai, dengan intelegensia ketiga ini kita dapat menempatkan tindak-tanduk dan hidup kita dalam konteks pemaknaan yang jauh lebih luas dan lebih kaya, dengan intelegensia ini pula kita bias menilai apakah suatu kejadian atau pengalaman hidup itu lebih berharga atau tidak dari lainnya. Sq adalah pondasi yang diperlukan bagi keefektifan kedua fungsi iq dan eq.
Jika mengacu keundang-undang system pendidikan nasional, pendidikan nasional kita seharusnya sarat dengan pembelajaran yang berdimensi religius dan moralitas. Untuk itu perlu dicari solusi bagaimanakah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan, jangan sampai praktek pendidikan itu menghianati amanat perundang-undangan.
Memang, cukup berat tugas dan tantangan pendidikan agama dan guru agama diindonesia. Islam diyakini sebagai sebuah agama yang memiliki ajaran lengkap ndan sempurna. Tetapi pendidikan formal kita tidak mungkin mampu menjelaskan kelengkapan dan kesempurnaan agama islam kerana jam pendidikan agama dalam kurikulum nasional sangat terbatas (SD, SMP, SMA/SMK hanya 2-3 jam perminggu). Bandingkan dengan di negeri berpenduduk muslin lainnya. Di Pakistan pendidikan agama dalam kurikulum SD-SMP mencapai 8 (delapan) jam perminggu dan di SMA ada 6 enam jam, ditambah lagi ilmu-ilmu sosial banyak digali dari ajaran agama dan pelajaran bahasa digunakan juga sebagai media pengajaran agama. Agama dalam kurikulum kita memang lebih sebagai pelengkap penderita.
Sekarang banyak sekolah (baca: sekolah-sekolah negeri, kerena sekolah islam sejak awal berdirinya telah memperkaya PAI) yang memperkaya PAI dan mengadakan gerakan budaya beragama (rekigious culture) disekolah. Ada beberapa sekolah, malah beberapa daerah otonom, yang secara berani menambah jumlah jam PAI menjadi 2 menjadi 4-6 jam perminggunya. Namun yang paling banyak adalah memperkaya PAI dengan cara memperbanyak eskul keagamaan, selain yang secara konvensional dan sudah mentradisi adalah dengan memperingati hari-hari besar islam dengan berbagai kegiatan keagamaan.
Tentu saja kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu disatu sisi cukup menggembirakan, kerena label sekolah sekuler dapat terhapuskan. Sivitas sekolah, khususnya para siswa, yang mencari dan bergairah belajar agama pun dapat terpuaskan. Tapi disisi lain, kegiatan-kegiatan ekstra demikian biasanya hanya diikuti oleh para siswa yang memang memiliki gairah beragama, tidak menyentuh mereka yang tidak memiliki gairah beragama. Berbeda dengan kegiatan semacam mata pelajaran PAI yang dapat melibatkan seluruh siswa; padahal kondisi umum keberagaman siswa kita biasa-biasa saja, tidak begitu banyak yang memiliki gairah beragama.